Monday, May 21, 2018

Berbenah diri

Suatu ketika di ruang tengah rumah bapak saya bilang kalau beliau mau membuatkan saya sebuah pesantren. Apakah ini sebuah lelucon atau benar-benar harapan yang dibebankan kepada anak keduanya ini. Saya tidak menjawab apa-apa ketika itu. Lebih ke bingung kalau hal itu jadi benar-benar jadi sebuah wasiat. Yang namanya wasiat kan mau ngga mau harus dilaksanakan. Antara mau dan berat hati. Membuat sebuah sistem pesantren tentu bukan sebuah perkara mudah. Tapi, selaku seorang yang punya mimpi masa kecil untuk kelak berfokus di bidang agama Islam saya pun terbantu dengan keinginan bapak saya itu. Dengan adanya harapan ini setidaknya menjadi pengingat tersendiri bagi saya untuk serius mendulang banyak ilmu di bidang keagamaan ini. Anggota keluarga saya memang hampir semuanya pernah mondok di pesantren. Bapak, Mamah, Teteh, dan saya pernah merasakan didikan agama dari para ustadz di beberapa pesantren yang berbeda. Bapak di pesantren di desa tempat tinggal. Mamah mondok sembari menempuh pendidikan formal di Pendidikan Guru Agama Sukamanah-Singaparna. Teteh pun menjadi santri di pondok pesantren Cipasung sambil menjalani pendidikan di MAN Cipasung. Sementara saya sendiri mondok di Pesantren milik guru PAI di SMAN I Tasikmalaya sambil sekolah di SMA yang sama. Terakhir adik saya sekarang pun berniat mengikuti jejak saya bersekolah di SMAN I Tasikmalaya juga mondok di pesantren Al-Ikhwan Cibeureum Tasikmalaya. Semoga bisa terealisasi. Cerita mondok bapak ketika muda tidak pernah saya dengar ceritanya secara utuh. Hanya beberapa fragmen saja. Seperti ketika SMA bapak mondok tapi tidak menetap. Orang-orang pondok mengistilahkannya dengan santri kodok atau santri kalong. Tapi, untuk pemahaman dan kemampuan membaca kitab kuning jangan ditanya. Bapak pun sekarang masih terus mengajarkan ilmunya ini di masjid dekat rumah. Kitab-kitab seperti tijan ad-daruri, jurmiyah, sulam al-tauifik, safinah al-najah adalah beberapa kitab yang sering diajarkannya. Beginilah salah satu indikator ilmu bermanfaat. Meski sedikit namun terus bisa menghidupi kehausan orang-orang akan ilmu. Cerita mamah lebih sedikit yang saya tahu. Jarang tanya-tanya soalnya. Sementara cerita tentang kehidupan teteh di pondok cukup saya ketahui karena ketika itu juga sering berkunjung ke asramanya. Masing-masing pengalaman mereka membuat saya akan sangat malu kalau tidak mengikuti jejaknya juga untuk mondok. Saya pun mengutarakan keinginan untuk sekolah sambil mondok ke bapak dan mamah. Terang saja mereka sangat senang meski mungkin tidak terlisankan secara langsung. Kebahagiaan mereka tergambar dalam beberapa perhatiannya kepada saya ketika proses 3 tahun yang penuh dengan banyak rintangan itu. Saya sangat bersyukur pernah menjadi keluarga besar pesantren dan mendapat predikat sebagai santri. Kehidupan di lembaga pendidikan tertua di Indonesia ini menawarkan keunikan dan keunggulan tersendiri. Terlepas tak menutup kemungkinan bahwa hal-hal minusnya pun tidak sedikit. Hanya saja tak bisa kita pungkiri bahwa jebolan dari berbagai pesantren di Indonesia berhasil menjadi orang-orang penting yang berkontribusi pada kemajuan republik ini. Kembali lagi ke keinginan bapak untuk membuatkan saya pesantren. Untuk mendirikan atau setidaknya berkecimpung di dunia pesantren hal yang tidak bisa tidak adalah saya harus menguasai berbagai kitab-kitab babon. Sebut saja kitab-kitab yang membahas ilmu alat, tauhid, Alquran, fiqih, dan akhlak. Harus ngolotok pokonya mah. Sementara itu, selama 3 tahun mondok saya kurang serius belajar beberapa kitab tersebut. Ketika sekarang disuruh untuk membaca kembali kita-kitab itu, aseli saya ngga bakalan bisa. Terlebih lagi selama 5 tahun belakangan ini tidak bersinggungan lagi dengan kitab-kitab gundul tersebut. Ada sesal yang menyusup di benak. Kenapa dulu tidak sungguh-sungguh mempelajari ilmu-ilmu dasar agama Islam. Padahal pondok memungkinkan sekali untuk menjadi tempat mematangkan kapasitas ilmu-ilmu keislaman. Alhamdulillah, saya masih sadar dengan wujud penyesalan ini. Paling tidak saya bisa memulai kembali untuk belajar lagi. Setelah lulus S1 (mudah-mudahan Agustus tahun ini) saya berencana untuk mondok kembali. Untuk konsentrasi keilmuannya sebenarnya saya ingin terlebih dahulu mondok di pesantren tahfidz. Ingin berikhtiar mewujudkan keinginan malu-malu dari bapak saya agar salah satu anaknya menjadi seorang hafidz—tentunya niat utamanya ditujukan untuk meraih keridaan Allah. Setelah itu, kalau ada kesempatan saya pun ingin kembali mengakrabi ilmu-ilmu agama lainnya di pesantren yang berbeda. Syukur-syukur juga bisa menikahi anak pak Kyai. Eh, ini mah kalau benar-benar kejadian hanya sebagai bonus saja, bukan tujuan utama. Sekian. Semoga rencana ini benar-benar terwujud. Semoga semangat memperbaiki diri terus on fire dan istiqomah hingga akhir.

No comments:

Post a Comment

CERPAN

cerita panjang, antara jepara, habib luthfi, Yai Dullah, Syaikh nawawi dll. monggo disimak *Dari Rumah Dibawa ke NU, Jangan dari NU Dibawa ...