Wednesday, May 23, 2018

Bayangan

Banyak hal di dunia ini yang berlaku hanya sesaat saja. Tak pernah ada ceritanya hal yang didapat, dinikmati dalam jangka waktu lama. Kesementaraan ini merambahi semua macam perihal. Baik-buruk, bahagia-duka, kaya-miskin, lapang-sempit, setia-khianat, hingga urusan masyhur dan terhina. Manusia kadang lupa bahwa kesemuaannya adalah ujian. Yang namanya ujian di mana-mana juga tak pernah benar-benar lama. Sebentar namun membutuhkan kesungguhan untuk melewatinya. Mungkin kita anggap yang namanya ujian itu sangat membosankan karena terasa begitu panjang masanya. Tapi, ketahuilah, lama atau sebentar tergantung cara kita melewatinya. Kalau sungguh-sungguh ingin naik ke tangga berikutnya, lalu diiringi usaha super serius, melewati ujian adalah perkara biasa saja. Lain halnya dengan orang-orang yang mengandalkan cara instan, ujian dianggap sebagai ajang penyiksaan. Membuat kecemasan tumbuh subur di taman perasaan. Kemapanan yang tengah kita raih seringkali memperdaya diri sendiri. Lalu tumbuhlah bibit besar kepala, kita ingin sekali mempertunjukan apa yang sudah dicapai untuk diketahui banyak orang. “hei, saya juara ini. Saya kemarin berfoto bersama dengan si anu. Tahu engga, minggu lalu saya habis liburan dari pantai anu. Dan ungkapan-ungkapan kegembiraan yang ingin sekali orang mengetahuinya.” Dalam bahasa lain, kita ingin ditepuktangani banyak orang atas keadaan yang tengah dialami. Kegembiraan memang mahal harganya. Karena mahal itu mungkin orang-orang berpikiran untuk memamerkannya kepada kawan-kawan di sekitarnya. “Rugi sekali kalau momen-momen bahagia saya tidak diekspos ke khalayak”. Kira-kira begitu pikiran orang-orang yang tengah terkaburkan pandangannya bahwa kebahagiaan akan bertahan lama. Padahal, sudah jelas bukan, esok hari apa yang bakal terjadi. Mungkin hal buruk akan menelan kebahagiaan yang telanjur kita umbar-umbar itu. Terbitlah duka. Air mata berhamburan menetesi pipi yang merah merona. Muka ditekuk tanda malang tengah melintang. Ketahuilah kesenangan hanya bertahan sementara. Jangan terlalu pamer secara berlebihan. Lalu, hal lain yang juga membuat kita melupakan ketidakekalan adalah anugrah kekayaan. Dengan uang yang dipunya, semua barang dibelinya. Ini-itu, produk terbaru baik dalam dan luar negeri dibeli meski tidak terlalu dibutuhkan. Hanya ingin terlihat update saja. Mengikuti trend masa kini. Tentu ujung-ujungnya ingin eksis di kalangan lingkaran kehidupannya. Ia alpa memerhatikan bahwa nikmat berpunya hanya sementara saja. Ada kalanya sumber penghasilan mengalami kebangkrutan (jika yang bersangkutan berprofesi sebagai pengusaha). Atau mengalami sebuah kondisi yang membuat tidak mampu lagi bekerja dengan maksimal, sakit misalnya atau kecelakaaan dahsyat. Dengan serta merta pengeluaran membengkak sementara pemasukan minim karena tidak ada karya yang diciptakan. Kemudian hadirlah besar pasak daripada tiang. Luputlah keglamorkan yang sebelumnya diperontonkan. Selanjutnya, penyakit berbahaya yang kerap tumbuh di hati manusia adalah terlena dengan seikat pujian. Atas pencapaian yang telah diraih ia lupa sebelumnya berasal dari mana. Dalam keadaan sangat parah mungkin lupa dengan orang tua sendiri yang telah berpayah-payah membesarkan, membiayai, dan mendidik sedari kecil. Kacang lupa kulitnya. Begitu kata pepatah. Ini seringkali menjangkiti para public figure, atau orang-orang yang secara tiba-tiba dielu-elukan khalayak tersebab memenangkan kompetisi bergengsi di televisi. Atau mungkin juga orang-orang yang sudah sangat emoh dengan kondisi hidup sebelumnya, bergelimang kemelaratan. Sehingga sekalinya diberi kesempatan hidup mapan, lupalah ia akan makna harta yang dititipkan. Padahal ini semua semata-mata hanya ujian. Kalau tidak lulus mau tidak mau harus dijatuhkan, dan kembali mengulang ujian di masa mendatang. Kalau sebelumnya diuji dengan kesenangan dan hasilnya jelek mungkin saja diuji dengan kepedihan dia akan memperbaiki kualitas dirinya. Kalau saja kita paham betul makna dari ketenaran yang hanya sekejap saja maka kita akan mempersiapkan diri untuk kembali menapaki hidup di jalan kesunyian. Di mana tidak ada orang yang dengan rela hari menjadi pemerhati kehidupan pribadi kita. Dan memang kita sebetulnya tak perlu menghindari keterkenalan. Ia wajar saja mampir di hidup kita barang sementara. Yang perlu kita perhatikan adalah jangan sampai ketersohoran itu menjadi Tuhan baru dalam hidup kita. Di mana amal kebajikan dengan dan tanpa penilaian orang-orang menjadi berpengaruh signifikan terhadap kualitasnya. Jangan sampai. Berlakulah sewajarnya. Ada akan dipenggal tiada. Berbuatlah dalam bingkai antara berlebih dan kurang. Di tengah-tengah saja. Jangan lupa pula bahwa yang berhak menyandang ketidak berkesudahan alias Maha Kekal hanyalah Allah yang bersifat baqa’. Kita manusia hanya sementara saja, sesaat, dan singkat.

No comments:

Post a Comment

CERPAN

cerita panjang, antara jepara, habib luthfi, Yai Dullah, Syaikh nawawi dll. monggo disimak *Dari Rumah Dibawa ke NU, Jangan dari NU Dibawa ...